Laila Majnun adalah sebuah
kisah dari rakyat arab, tentang kecantikan seorang gadis bernama Laila, yang
menarik hati seorang pemuda, Qais keturunan Bani Amir.
Qais yang semula pandai,
gagah dan berasal dari kabilah terhormat, menjadi majnun alias gila, karena
kasihnya yang tak sampai. Qais, yang tersiksa karena takdir yang selalu
memusuhinya, sedang hasrat tak mampu ditundukan hatinya, menjadikan dia lupa
akan hakikat hidupnya sendiri. Walau kegilaan yang dialaminya mengilhami tutur
bahasa sastra yang indah, dan ketulusan jiwa dalam derita cinta, tetap saja
sebutan majnun tak dapat ditepisnya.
Kisah tentang Qais dan
Laila yang hidup di suatu negeri wilayah tanah Arab. Qais yang berwajah tampan
dan Laila yang terkenal akan kecantikannya, yang menjadi dambaan setiap
laki-laki. Akhirnya cinta mereka kandas karena adat melarang mereka untuk
mengekspresikan gelora cintanya. Maka, tumpah ruahlah segala rasa rindu dan cinta
dalam bentuk syair dan puisi yang mengalir menentang takdir mereka.
Suatu ketika Qais
memutuskan ikut berniaga ke negeri lain bersama ayahnya agar kelak ia memiliki
bekal pengetahuan sendiri tentang perniagaan. Ketika pamit kepada Laila, Qais
memberikan seuntai kalung mutiara sebagai tanda kesetiaannya. Qais minta Laila
berjanji untuk melepaskan sebuah mutiara dari untaiannya apabila waktu sudah
menunjukkan bulan baru. Ia pun berjanji akan kembali sebelum untaian mutiara
habis.
Meskipun sangat sedih, Laila
merelakan kekasihnya pergi mencari pengalaman.
Sepeninggal Qais, Laila
hanya bermenung diri dan menciptakan syair sebagai pelambang rindu. Suatu hari,
ayah Laila, Al-Mahdi, pulang ke rumah bersama seorang tamu bernama Sad bin
Munif, yang diajak menginap. Tamu itu seorang saudagar kaya raya yang berasal
dari Irak. Ketika berjumpa Laila, Sad bin Munif langsung jatuh cinta dan
melamar Laila kepada ayahnya. Tanpa sepengetahuan Laila, Al-Mahdi menerima
lamaran tersebut karena tergiur oleh mas kawin 1.000 dinar dan harta kekayaan
Sad bin Munif. Laila tak berdaya melawan perintah ayahnya karena adat memang
menyatakan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan. Sementara itu, Qais yang
telah memasuki bulan ke-9 ikut berniaga ke negeri-negeri seperti Damsjik, Jerusalem,
Hims, Halab, Anthakijah, Irak, Koefah, hingga Basrah tidak dapat lagi menahan
rindunya terhadap Laila. Wajahnya tampak muram dan badannya semakin kurus.
Ayah Qais melihat
kesedihan anaknya dan menanyakan ada apakah gerangan yang telah mengganggu
pikirannya. Akhirnya Qais berterus terang tentang kisah cintanya dengan Laila.
Demi mendengar penuturan anaknya, Al-Mulawwah memutuskan segera kembali ke
kampung halamannya dan berjanji akan melamar Laila untuk Qais. Ketika sampai
kampung halaman, Al-Mulawwah bergegas menemui ayah Laila dan menawarkan 100
unta sebagai pengganti uang 1.000 dinar yang telah diberikan Sad bin Munif.
Akan tetapi, dengan sombongnya, ayah Laila menolak lamaran Al-Mulawwah. Tak
berapa lama kemudian, pesta perkawinan Laila dan Sad bin Munif diselenggarakan
secara besar-besaran. Maka, hancur luluhlah hati Qais. Tak ada satu obat pun
yang bisa menyembuhkan sakitnya ini, meskipun orangtuanya telah mendatangkan
banyak tabib ternama. Sejak itu Qais tidak mau berbicara kepada orang lain, ia
sibuk dengan dirinya sendiri dan sering kali terlihat berbicara sendiri. Karena
perilaku aneh inilah orang sekampungnya memanggil Qais dengan Majnun, yang
berarti kurang sempurna pikirannya.
Akan halnya Laila,
meskipun kini telah menjadi istri Sad bin Munif, ia tetap mencintai Qais.
Menurut Laila, secara fisik ia boleh menjadi istri Sad bin Munif, tetapi
jiwanya tetap untuk Qais. Dalam ungkapannya, di dunia Qais dan Laila bukanlah
pasangan suami istri, tetapi di akhirat mereka menjadi pasangan abadi. Karena tak
kuat menanggung penderitaan cinta ini, Laila sakit dan selalu memanggil nama
Qais. Akhirnya Qais pun dipanggil untuk menemui Laila. Ketika mereka bertemu,
Laila memberi pesan terakhir bahwa mereka akan bertemu nanti di akhirat sebagai
sepasang kekasih. Demi melihat kekasihnya meninggal, putus asalah Qais. Tak ada
lagi keinginannya untuk hidup. Sehari-hari kerjanya hanya duduk di pusara Laila
hingga akhirnya Qais meninggal. Maka, jasad Qais pun dibaringkan di samping
pusara Laila.
Kira-kira 10 tahun kemudian,
beberapa musafir menziarahi kubur mereka berdua. Di atas kedua pusara itu telah
tumbuh dua rumpun bambu yang pucuknya saling berpelukan. Maka, masyhurlah kisah
ini sebagai kisah Laila-Majnun.
0 komentar:
Posting Komentar