Beruntung
nasib mereka yang sejak kecil hidup berkecukupan. Mereka bisa bersekolah dan
bercita-cita setinggi langit. Berbeda dengan aku, lima bersaudara yang selalu
hanya bisa membayangkan setiap memiliki keinginan. Orang tuaku sedang dalam
cobaan, kini yang mencari nafkah hanyalah ibuku seorang, karena ayahku
tidak pernah istiqomah ketika bekerja, mudah jenuh dan tidak
tetap pendirian.
Untuk
memenuhi kebutuhan kami sehari-hari selain bekerja sebagai guru honorer, ibuku
berjualan kue. Setiap pukul 24.00, ibu sudah mulai membuat kue sampai hampir
subuh, kemudian ibu juga tak pernah melupakan memasak untuk dimakan sehari atau
sampai malam. Sebelum berangkat sekolah, kami sebagai anak-anak ibu yang harus
selalu membantu beliau, mengantarkan kue-kue buatan ibu ke warung-warung. Ibu
sendiri juga membawa kue itu ke tempat ibu mengajar. Sepulang mengajar sekitar
pukul 16.00, biasanya ibu langsung belanja ke pasar. Terkadang aku berfikir,
ibu seperti “bakul etek” atau penjual sayuran keliling, karena sepulang
dari mengajar ibu membawa dagangan di bagian belakang sepeda motor bersejarah
itu. Sepeda motor kuno yang membuat kaki ibu bengkak dan lebam setiap hari.
Sampai
pada suatu saat aku dan kakakku yang pertama sama-sama masuk ke sekolah
lanjutan. Aku masuk ke SMP dan kakakku masuk ke SMA. Ketika masa pendaftaran
sungguh menyakitkan hati, bagaimana tidak ibu harus menyiapkan uang sebesar
Rp3.000.000,- . Ibu bingung. Aku mencoba menawarkan gambaran tempat meminjam
uang.
“Buk, bagaimana kalau Ibuk pinjam ke kakek
(kakek dari ayah)? Tanyaku kepada ibu sambil melihat mata beliau yang lebam
dengan badan yang semakin lama semakin kurus.”
“Akan ibu coba, ibu sekarang hanya punya uang
seratus ribu.Tapi ibu dengar ayahmu baru dapat uang pinjaman dari temannya.
Tapi…….” Jawab ibu tanpa harap.
Suatu
hari aku mendengar percakapan antara ayah dan ibu tentang biaya kami. Ayah
bilang tidak punya uang, padahal adikku pernah bilang kemarin ada tamu ngasih
uang ke ayah banyak sekali. Apa yang terjadi, ternyata uang itu dibelikan
burung. Ayahku…..selalu begitu dan begitu…Tapi setiap burung yang dibeli ayah tidak
pernah berumur panjang. Kalau tidak mati ya kabur. Itu mungkin balasan dari
Tuhan karena ayah sering mendzolimi ibu dan anak-anaknya. Mungkin ayah tidak
menyadarinya walaupun hal itu berulang-ulang dialaminya.
Entah
ibu dapat uang pinjaman dari mana, akhirnya aku dan kakak dapat melanjutkan
sekolah. Dengan uang pas-pasan ibu berjuang menyekolahkan kelima anaknya tanpa
bantuan dari ayah sepeser pun, namun mengapa ayah tega sekali terhadap
kami.Terkadang kami nunggak mbayar buku atau LKS, sampai-sampai ibu melamar
pekerjaan ke satu sekolah lagi. Ibu diterima. Jadi setiap harinya ada dua
sekolah yang didatangi ibu untuk mengamalkan ilmunya dan sekaligus mencari uang.
Di
tengah-tengah aku belajar di salah satu SMP Negeri, ada pengumuman lomba
melukis, aku pikir bagaimana kalau aku ikut. Siapa tahu hadiahnya nanti bisa
kutabung untuk membantu ibu kalau sewaktu-waktu ibu membutuhkan tambahan dana,
karena aku membaca hadiah untuk pemenang pertama lomba melukis itu akan
mendapatkan dana tabungan dari BRI sebesar dua juta rupiah. Juara 2 mendapatkan
satu juta lima ratus ribu rupiah dan yang ke-3 mendapatkan satu juta rupiah.
Namun hal itu sepertinya tidak mungkin karena aku tidak memiliki cat air atau
semacamnya.Untuk membelinya saja aku tidak mungkin, tidak ada uang untuk itu.
Bisa makan sehari-hari saja sudah untung. Aku hanya bisa membayangkan menjadi
juaranya, karena uang,…uang…uang…untuk ibuku.
Keinginanku
mengikuti lomba melukis didengar oleh salah satu temanku, kebetulan ia anak
orang kaya. Suatu hari, atau dua hari mendekati waktu lomba melukis temanku
tadi ke rumah untuk meminjamkan segala alat lukisnya. Tanpa persiapan latihan
sama sekali aku mengikuti kejuaraan lukis itu. Namun aku yakin akan jadi
pemenang walau hanya berbekal harapan, bayangan, dan impian. Memang setiap aku
ada waktu longgar, aku senang melukis dengan pensil di kertas-kertas seadanya.
Aku lukis wajah ibuku, wajah ayahku, kakakku , dan ketiga adikku dalam suasana
yang berbeda. Aku lukis keluargaku seolah-olah kami keluarga yang berkecukupan,
dengan rumah yang indah dan halaman yang dipenuhi bunga-bunga impian.
Pengumuman
lomba telah tertempel di tembok-tembok perkotaan.Tak kusangka….aaaaaa.
Alhamdulillah aku mendapat juara ke-2. Begitu gembiranya hatiku… pertama kali
yang aku bayangkan hanyalah wajah ibuku yang tersenyum menyaksikan anaknya
menjadi yang terbaik, dan tersenyum ketika aku persembahkan hadiah itu untuk
ibu. Namun bersamaan dengan hadirnya kebahagiaanku, aku dengar berita yang tak
ku duga sama sekali. Telingaku bagaikan disambar petir, badanku lunglai tak
berdaya, sampai aku tak sadarkan diri, mendengar ibuku kecelakaan dan meninggal
dunia pada saat ibu belanja ke pasar untuk bahan membuat kue.
Sungguh
lenkgap sudah penderitaanku, kakakku dan adik-adikku. Ketika aku sadar, aku
sudah berada di rumah. Ramai sekali orang berdatangan untuk takziah. Tak lama
kemudian ibu akan dimakamkan, kami putra-putrinya diminta untuk melakukan
penghormatan terakhir di bawah jasad ibu yang sedang dipanggul oleh
oran-orang kampung. Di dalam keranda, aku tak bisa melihatnya lagi…kepada siapa
akan kubagi kebahagiaan dan dukaku nanti? Kepada Ayah? Tidak, Ayah…aku tak rela
membagi kebahagiaan dengannya.
Seusai
ditinggal ibu, ayah jarang di rumah. Kami tak diurusnya lagi. Dengan uang
hadiah yang aku simpan, dan sedikit-sedikit kakak mencoba mengikuti jejak ibu
sekolah sambil jualan kue, kami (aku dan kakak ) memberi makan pada
adik-adikku. Tanpa memikirkan biaya sekolah nunggak atau tidak, yang penting
kami dapat makan setiap hari.Juga tanpa uang saku.Tak lama uang itu akhirnya
semakin sedikit dan semakin habis. Ayah jarang pulang, seakan-akan tak
menganggap kami ada dalam tanggung jawabnya. Aku dan kakak semakin tak kuasa
menahan penderitaan ini, apakah aku harus menjadi pembantu rumah tangga,
mengamen atau mengemis untuk adik-adikku? Aku semakin pusing. Sampai pada suatu
saat aku dan kakak berniat ikut di panti asuhan, bersama adik-adik.
Benar,
aku lima bersaudara ikut di sebuah panti asuhan, aku dan kakak juga tidak
sekolah lagi. Kami putus sekolah di kelas dua. Di sebuah panti asuhan, ibu-ibu
pengasuh di situ menerima kami baik-baik.Salah satunya adalah Bunda Dian. Kami
sangat akrab, seperti sudah mengenal beliau sebelumnya. Namun mungkin memang
nasib kami ditakdirkan ditinggal oleh orang-orang terkasih….Tak lama kami
tinggal di panti asuhan itu, Bunda Dian meninggal terkena serangan jantung.
Kami akhirnya diasuh oleh Bunda Umi, tak kalah baiknya dengan Bunda Dian. Kami
belum ada yang bersekolah, karena panti asuhan yang kami tempati berada di
daerah terpencil, jarang mendapatkan perhatian dan bantuan. Para pengasuh
memberi makan kami dengan berjualan kue yang dikemas dan diantar ke kota.
Pandai sekali bunda-bunda kami membuat kreasi kue.
Sampai
pada suatu saat, Bunda Umi mengajak kami membuat panti asuhan ini menjadi
komplek home industry dan seni, sesuai dengan kemampuan masing-masing anak
panti. Kami, anak panti berjumlah 50 anak, sebagian dari kami ada yang sengaja
dipungut bunda dari jalanan, ada juga yang datang sendiri seperti keluargaku.
Dengan dana pas-pasan, cita-cita itu terwujud. Seperti biasa aku bergaya
sebagai seorang pelukis, lukisanku lumayan laku terjual.Terkadang lukisanku
masuk dalam pameran lukisan. Aku diberitahu oleh Bunda Umi ketika beliau pergi
ke kota mengantar hasil produksi kue.
Aku
semakin bersemangat untuk membuat lukisan-lukisan impianku, salah satu lukisan
yang terjual mahal adalah lukisan keluargaku seperti yang kulukis ketika aku masih
di bangku Sekolah Dasar. Dengan gaya melukis yang lebih handal, seolah-olah
lukisan itu hidup, seolah keluargaku kembali utuh seperti dulu. Namun sekali
lagi, itu hanya khayalan dan impianku. Hasil penjualan lukisan-lukisan itu
sebagian aku kumpulkan, aku berniat melanjutkan sekolah adik-adikku. Apa yang
aku inginkan tercapai, ketiga adikku bisa sekolah lagi, sedang aku dan kakak
mencoba mengikuti program paket sampai kami lulus SMA. Setelah mendapat ijazah
paket SMA kakak berhenti sampai di situ karena bunda Umi kuwalahan meladeni
langganan dan kebetulan kakak pandai membuat kue. Sedangkan aku berniat untuk
masuk di jenjang perkuliahan. Aku mendaftarkan kuliah di jurusan Farmasi dan
aku diterima. Setelah lulus aku berniat ke kota untuk melamar pekerjaan.
Walaupun
mungkin gajinya sedikit, tapi paling tidak itu bisa membantu membiayai
adik-adikku supaya bisa seperti aku. Dengan modal tabunganku yang jumlahnya
cukup untuk sekedar transport, menginap, dan makan.2 hari kemudian aku
berangkat. Sebelumnya aku pamit dan mohon restu kepada bunda Umi. Bunda Umi
memberikanku sebuah alamat. Ia berkata bahwa itu adalah alamat keluarganya.Ia
menyuruhku tinggal di sana sementara sampai aku mendapat pekerjaan. Ia
memelukku dengan erat dan berpesan “Jaga dirimu baik-baik. Sering-sering
kabarkan ke bunda. Jangan pernah lupakan bunda dan adik-adikmu di panti.” Aku
hanya bisa mengangguk pelan.“Bunda, aku minta tolong dijagakan adik-adikku.”
Aku
berangkat dengan tumpangan dari Bang Harjo, orang yang tinggal di dekat panti.
Berhubung tujuan kami sama, ia pun menawarkanku untuk ikut dengannya. Dengan
perasaan yang agak sedikit berat aku meninggalkan tempat tinggalku menuju ke
dunia luas dan hidup mandiri.
Pertama
kali aku menginjakkan kaki di kota Semarang. Aku merasakan sesuatu yang beda.
Udaranya tidak sesegar udara di desa.Di sini juga ramai. Bang Harjo berpesan
padaku agar aku bisa menjaga diri dengan baik. Ia memberiku sedikit uang. Aku
sangat berterima kasih pada Bang Harjo.
Aku
berpisah dengan Bang Harjo di terminal. Aku melanjutkan perjalananku, mencari
alamat yang diberikan bunda Umi. Untung saja alamatnya mudah dicari. Aku
diterima dengan baik di rumah Pak Harto, keluarga Bunda Umi. Ia memperkenalkanku
pada kerabatnya yang menjadi seorang dokter senior yang bernama dr. Arif. Aku
menjalani pekerjaanku sebagai asisten dr. Arif.
Di
samping itu aku juga bisa belajar mengenai ilmu kedokteran. Aku sangat
beruntung.Tak terasa waktu terus berjalan, hinga akhirnya dipercaya oleh dr.
Arif. Aku sangat senang karena akhirnya suatu hal yang kuimpikan tercapai
sudah. Aku sudah menjadi seorang apoteker walaupun belum resmi. Aku rindu
dengan adik-adikku, aku ingin kembali atau menjenguk ke panti. Kini sudah
saatnya aku kembali ke panti asuhan tempatku dirawat dari kecil.
Akhirnya
aku diizinkan oleh dr. Arif untuk pulang ke panti asuhan tempat aku menitipkan
adik-adikku dan kebetulan beliau akan menghadiri acara pernikahan sepupunya di
Kalimantan. Di perjalanan aku teringat dengan makam ibu, akhirnya sebelum
sampai ke panti asuhan aku singgah sebentar, ziaroh di makam ibu.Tak kusangka
sepulang dari ziaroh, sepertinya aku melihat sosok ayah yang pernah satu rumah,
satu keluarga dengan kami. Namun dengan keadaan yang berbeda. Ayah…yang dulu
selalu menyakiti kami, sekarang ayah telah beristri lagi dan memiliki anak dari
istrinya yang baru itu. Ayah lewat di depanku, tetapi kelihatannya beliau tidak
mengenaliku lagi. Maklum sudah lebih dari 10 tahun kami tidak bertemu. Ke mana
berjalannya ayah dan istrinya, aku mencoba mengikutinya. Sampai pada sebuah
rumah sederhana, aku melihat ayah memasuki rumah itu.
Tiba-tiba
air mataku tak tahan untuk mengalir dari mataku yang sudah lama tak mengenal
air mata pilu itu. Aku melihat keadaan ayah dengan keluarganya yang baru,
ternyata tidak berbeda dengan ayahku yang dulu, tidak memiliki pekerjaan tetap.
Aku
melihat istrinya, sesampai di rumah itu istri ayah yang baru, langsung
mengeluarkan sepedah sederhananya dengan dagangan sayur-mayur, sedang ayah
seperti biasa yang aku lihat dulu, mengambil sepuntung rokok, menyalakannya
sambil duduk santai di teras rumah, dan sesekali aku dengar suara keras ayah
membentak-bentak anaknya sepeninggal ibunya yang berangkat mencari nafkah.
Persis seperti yang aku alami dulu. Tak jarang aku, kakak, dan adik-adikku
memar-memar di tubuh akibat dihajar ayah. Hanya karena masalah sepele, lama
mengambil asbak, lama mengambil korek atau kebutuhan ringan ayah yang lain.
Kami terlalu payah, seharian sekolah dan membantu ibu mempersiapkan pembuatan
kue, saat ibu masih hidup dulu.
Tak
sadar sudah 30 menit aku menyaksikan keadaan ayah, pelan-pelan aku meninggalkan
kehidupan ayah, dan naik angkot menuju panti asuhanku. Di perjalanan ketika di
dalam angkot aku bertemu dengan seorang ibu yang wajahnya mirip sekali dengan
ibuku. Dia juga memandangiku, seolah-olah dia tersenyum melihatku, kami saling
menatap. Tapi herannya, penumpang-penumpang yang lain seperti tak bereaksi
apa-apa. Mereka seperti tak melihat ibu juga. Ibu itu turun bersamaan dengan
seorang penumpang yang turun di Jalan Surabaya. Aku pandangi terus ibu itu
karena aku sangat rindu dengan ibuku, apalagi setelah aku ziarah ke makam
beliau. Namun apa yang kulihat, sesampai di sebuah gang, tak kulihat lagi ibu
itu, dia menghilang bagai ditelan alam. Tetapi sebelum dia tak ku lihat lagi ,
dia sempat melambaikan tangannya ke arahku. Aku berfikir, jangan-jangan….Ah
Orang yang sudah meninggal tak mungkin kembali lagi. Itu hanya mimpiku
karena aku rindu dan rindu sekali akan belaiannya. Aku ingin mengadu betapa
berat beban di pundakku dan kakakku sepeninggal ibu dan tanpa ayah pula di sisi
kami.
Setiba
di panti asuhan, aku melihat adik-adikku sedang belajar di teras depan panti.
Ku panggil mereka, seraya mereka berlari menghampiri aku. Kupeluk ketiga
adikku. Di malam hari kami berlima berkumpul di ruang TV, aku bercerita pada
mereka bahwa aku melihat ayah dan keluarganya. Aku ceritakan juga keadaan
ayah.Tapi kami enggan untuk mengunjunginya. Kami trauma dengan
peristiwa-peristiwa dahulu. Aku dan Adik-adikku serta kakakku kini telah hidup
bahagia, walaupun kami hanya nunut tinggal di sebuah panti asuhan. Kami tetap
punya cita-cita yang tinggi, namun kami percaya, Tuhan akan mengabulkan setiap
permintaan manusia jika mereka mau berdoa dan berusaha.
(Karya:
N. S. Amalis Sholihah)
0 komentar:
Posting Komentar