Sabtu, 25 Maret 2017

Serpihan Hati Sukma



 
Beruntung nasib mereka yang sejak kecil hidup berkecukupan. Mereka bisa bersekolah dan bercita-cita setinggi langit. Berbeda dengan aku, lima bersaudara yang selalu hanya bisa membayangkan setiap memiliki keinginan. Orang tuaku sedang dalam cobaan, kini yang mencari nafkah hanyalah ibuku seorang, karena ayahku tidak  pernah istiqomah ketika bekerja, mudah jenuh dan  tidak tetap pendirian.

Untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari selain bekerja sebagai guru honorer, ibuku berjualan kue. Setiap pukul 24.00, ibu sudah mulai membuat kue sampai hampir subuh, kemudian ibu juga tak pernah melupakan memasak untuk dimakan sehari atau sampai malam. Sebelum berangkat sekolah, kami sebagai anak-anak ibu yang harus selalu membantu beliau, mengantarkan kue-kue buatan ibu ke warung-warung. Ibu sendiri juga membawa kue itu ke tempat ibu mengajar. Sepulang mengajar sekitar pukul 16.00, biasanya ibu langsung belanja ke pasar. Terkadang aku berfikir, ibu seperti “bakul etek” atau penjual sayuran keliling, karena sepulang dari mengajar ibu membawa dagangan di bagian belakang sepeda motor bersejarah itu. Sepeda motor kuno yang membuat kaki ibu bengkak dan lebam setiap hari.

Sampai pada suatu saat aku dan kakakku yang pertama sama-sama masuk ke sekolah lanjutan. Aku masuk ke SMP dan kakakku masuk ke SMA. Ketika masa pendaftaran sungguh menyakitkan hati, bagaimana tidak ibu harus menyiapkan uang sebesar Rp3.000.000,- . Ibu bingung. Aku mencoba menawarkan gambaran tempat meminjam uang.

“Buk, bagaimana kalau Ibuk pinjam ke kakek (kakek dari ayah)? Tanyaku kepada ibu sambil melihat mata beliau yang lebam dengan badan yang semakin lama semakin kurus.” 

“Akan ibu coba, ibu sekarang hanya punya uang seratus ribu.Tapi ibu dengar ayahmu baru dapat uang pinjaman dari temannya. Tapi…….” Jawab ibu tanpa harap.

Suatu hari aku mendengar percakapan antara ayah dan ibu tentang biaya kami. Ayah bilang tidak punya uang, padahal adikku pernah bilang kemarin ada tamu ngasih uang ke ayah banyak sekali. Apa yang terjadi, ternyata uang itu dibelikan burung. Ayahku…..selalu begitu dan begitu…Tapi setiap burung yang dibeli ayah tidak pernah berumur panjang. Kalau tidak mati ya kabur. Itu mungkin balasan dari Tuhan karena ayah sering mendzolimi ibu dan anak-anaknya. Mungkin ayah tidak menyadarinya walaupun hal itu berulang-ulang dialaminya.

Entah ibu dapat uang pinjaman dari mana, akhirnya aku dan kakak dapat melanjutkan sekolah. Dengan uang pas-pasan ibu berjuang menyekolahkan kelima anaknya tanpa bantuan dari ayah sepeser pun, namun mengapa ayah tega sekali terhadap kami.Terkadang kami nunggak mbayar buku atau LKS, sampai-sampai ibu melamar pekerjaan ke satu sekolah lagi. Ibu diterima. Jadi setiap harinya ada dua sekolah yang didatangi ibu untuk mengamalkan ilmunya dan sekaligus mencari uang.

Di tengah-tengah aku belajar di salah satu SMP Negeri, ada pengumuman lomba melukis, aku pikir bagaimana kalau aku ikut. Siapa tahu hadiahnya nanti bisa kutabung untuk membantu ibu kalau sewaktu-waktu ibu membutuhkan tambahan dana, karena aku membaca hadiah untuk pemenang pertama lomba melukis itu akan mendapatkan dana tabungan dari BRI sebesar dua juta rupiah. Juara 2 mendapatkan satu juta lima ratus ribu rupiah dan yang ke-3 mendapatkan satu juta rupiah. Namun hal itu sepertinya tidak mungkin karena aku tidak memiliki cat air atau semacamnya.Untuk membelinya saja aku tidak mungkin, tidak ada uang untuk itu. Bisa makan sehari-hari saja sudah untung. Aku hanya bisa membayangkan menjadi juaranya, karena uang,…uang…uang…untuk ibuku.

Keinginanku mengikuti lomba melukis didengar oleh salah satu temanku, kebetulan ia anak orang kaya. Suatu hari, atau dua hari mendekati waktu lomba melukis temanku tadi ke rumah untuk meminjamkan segala alat lukisnya. Tanpa persiapan latihan sama sekali aku mengikuti kejuaraan lukis itu. Namun aku yakin akan jadi pemenang walau hanya berbekal harapan, bayangan, dan impian. Memang setiap aku ada waktu longgar, aku senang melukis dengan pensil di kertas-kertas seadanya. Aku lukis wajah ibuku, wajah ayahku, kakakku , dan ketiga adikku dalam suasana yang berbeda. Aku lukis keluargaku seolah-olah kami keluarga yang berkecukupan, dengan rumah yang indah dan halaman yang dipenuhi bunga-bunga impian.

Pengumuman lomba telah tertempel di tembok-tembok perkotaan.Tak kusangka….aaaaaa. Alhamdulillah aku mendapat juara ke-2. Begitu gembiranya hatiku… pertama kali yang aku bayangkan hanyalah wajah ibuku yang tersenyum menyaksikan anaknya menjadi yang terbaik, dan tersenyum ketika aku persembahkan hadiah itu untuk ibu. Namun bersamaan dengan hadirnya kebahagiaanku, aku dengar berita yang tak ku duga sama sekali. Telingaku bagaikan disambar petir, badanku lunglai tak berdaya, sampai aku tak sadarkan diri, mendengar ibuku kecelakaan dan meninggal dunia pada saat ibu belanja ke pasar untuk bahan membuat kue.

Sungguh lenkgap sudah penderitaanku, kakakku dan adik-adikku. Ketika aku sadar, aku sudah berada di rumah. Ramai sekali orang berdatangan untuk takziah. Tak lama kemudian ibu akan dimakamkan, kami putra-putrinya diminta untuk melakukan  penghormatan terakhir di bawah jasad ibu yang sedang dipanggul oleh oran-orang kampung. Di dalam keranda, aku tak bisa melihatnya lagi…kepada siapa akan kubagi kebahagiaan dan dukaku nanti? Kepada Ayah? Tidak, Ayah…aku tak rela membagi kebahagiaan dengannya.

Seusai ditinggal ibu, ayah jarang di rumah. Kami tak diurusnya lagi. Dengan uang hadiah yang aku simpan, dan sedikit-sedikit kakak mencoba mengikuti jejak ibu sekolah sambil jualan kue, kami (aku dan kakak ) memberi makan pada adik-adikku. Tanpa memikirkan biaya sekolah nunggak atau tidak, yang penting kami dapat makan setiap hari.Juga tanpa uang saku.Tak lama uang itu akhirnya semakin sedikit dan semakin habis. Ayah jarang pulang, seakan-akan tak menganggap kami ada dalam tanggung jawabnya. Aku dan kakak semakin tak kuasa menahan penderitaan ini, apakah aku harus menjadi pembantu rumah tangga, mengamen atau mengemis untuk adik-adikku? Aku semakin pusing. Sampai pada suatu saat aku dan kakak berniat ikut di panti asuhan, bersama adik-adik.

Benar, aku lima bersaudara ikut di sebuah panti asuhan, aku dan kakak juga tidak sekolah lagi. Kami putus sekolah di kelas dua. Di sebuah panti asuhan, ibu-ibu pengasuh di situ menerima kami baik-baik.Salah satunya adalah Bunda Dian. Kami sangat akrab, seperti sudah mengenal beliau sebelumnya. Namun mungkin memang nasib kami ditakdirkan ditinggal oleh orang-orang terkasih….Tak lama kami tinggal di panti asuhan itu, Bunda Dian meninggal terkena serangan jantung. Kami akhirnya diasuh oleh Bunda Umi, tak kalah baiknya dengan Bunda Dian. Kami belum ada yang bersekolah, karena panti asuhan yang kami tempati berada di daerah terpencil, jarang mendapatkan perhatian dan bantuan. Para pengasuh memberi makan kami dengan berjualan kue yang dikemas dan diantar ke kota. Pandai sekali bunda-bunda kami membuat kreasi kue.

Sampai pada suatu saat, Bunda Umi mengajak kami membuat panti asuhan ini menjadi komplek home industry dan seni, sesuai dengan kemampuan masing-masing anak panti. Kami, anak panti berjumlah 50 anak, sebagian dari kami ada yang sengaja dipungut bunda dari jalanan, ada juga yang datang sendiri seperti keluargaku. Dengan dana pas-pasan, cita-cita itu terwujud. Seperti biasa aku bergaya sebagai seorang pelukis, lukisanku lumayan laku terjual.Terkadang lukisanku masuk dalam pameran lukisan. Aku diberitahu oleh Bunda Umi ketika beliau pergi ke kota mengantar hasil produksi kue.

Aku semakin bersemangat untuk membuat lukisan-lukisan impianku, salah satu lukisan yang terjual mahal adalah lukisan keluargaku seperti yang kulukis ketika aku masih di bangku Sekolah Dasar. Dengan gaya melukis yang lebih handal, seolah-olah lukisan itu hidup, seolah keluargaku kembali utuh seperti dulu. Namun sekali lagi, itu hanya khayalan dan impianku. Hasil penjualan lukisan-lukisan itu sebagian aku kumpulkan, aku berniat melanjutkan sekolah adik-adikku. Apa yang aku inginkan tercapai, ketiga adikku bisa sekolah lagi, sedang aku dan kakak mencoba mengikuti program paket sampai kami lulus SMA. Setelah mendapat ijazah paket SMA kakak berhenti sampai di situ karena bunda Umi kuwalahan meladeni langganan dan kebetulan kakak pandai membuat kue. Sedangkan aku berniat untuk masuk di jenjang perkuliahan. Aku mendaftarkan kuliah di jurusan Farmasi dan aku diterima. Setelah lulus aku berniat ke kota untuk melamar pekerjaan.

Walaupun mungkin gajinya sedikit, tapi paling tidak itu bisa membantu membiayai adik-adikku supaya bisa seperti aku. Dengan modal tabunganku yang jumlahnya cukup untuk sekedar transport, menginap, dan makan.2 hari kemudian aku berangkat. Sebelumnya aku pamit dan mohon restu kepada bunda Umi. Bunda Umi memberikanku sebuah alamat. Ia berkata bahwa itu adalah alamat keluarganya.Ia menyuruhku tinggal di sana sementara sampai aku mendapat pekerjaan. Ia memelukku dengan erat dan berpesan “Jaga dirimu baik-baik. Sering-sering kabarkan ke bunda. Jangan pernah lupakan bunda dan adik-adikmu di panti.” Aku hanya bisa mengangguk pelan.“Bunda, aku minta tolong dijagakan adik-adikku.”

Aku berangkat dengan tumpangan dari Bang Harjo, orang yang tinggal di dekat panti. Berhubung tujuan kami sama, ia pun menawarkanku untuk ikut dengannya. Dengan perasaan yang agak sedikit berat aku meninggalkan tempat tinggalku menuju ke dunia luas dan hidup mandiri.

Pertama kali aku menginjakkan kaki di kota Semarang. Aku merasakan sesuatu yang beda. Udaranya tidak sesegar udara di desa.Di sini juga ramai. Bang Harjo berpesan padaku agar aku bisa menjaga diri dengan baik. Ia memberiku sedikit uang. Aku sangat berterima kasih pada Bang Harjo.

Aku berpisah dengan Bang Harjo di terminal. Aku melanjutkan perjalananku, mencari alamat yang diberikan bunda Umi. Untung saja alamatnya mudah dicari. Aku diterima dengan baik di rumah Pak Harto, keluarga Bunda Umi. Ia memperkenalkanku pada kerabatnya yang menjadi seorang dokter senior yang bernama dr. Arif. Aku menjalani pekerjaanku sebagai asisten dr. Arif.

Di samping itu aku juga bisa belajar mengenai ilmu kedokteran. Aku sangat beruntung.Tak terasa waktu terus berjalan, hinga akhirnya dipercaya oleh dr. Arif. Aku sangat senang karena akhirnya suatu hal yang kuimpikan tercapai sudah. Aku sudah menjadi seorang apoteker walaupun belum resmi. Aku rindu dengan adik-adikku, aku ingin kembali atau menjenguk ke panti. Kini sudah saatnya aku kembali ke panti asuhan tempatku dirawat dari kecil.

Akhirnya aku diizinkan oleh dr. Arif untuk pulang ke panti asuhan tempat aku menitipkan adik-adikku dan kebetulan beliau akan menghadiri acara pernikahan sepupunya di Kalimantan. Di perjalanan aku teringat dengan makam ibu, akhirnya sebelum sampai ke panti asuhan aku singgah sebentar, ziaroh di makam ibu.Tak kusangka sepulang dari ziaroh, sepertinya aku melihat sosok ayah yang pernah satu rumah, satu keluarga dengan kami. Namun dengan keadaan yang berbeda. Ayah…yang dulu selalu menyakiti kami, sekarang ayah telah beristri lagi dan memiliki anak dari istrinya yang baru itu. Ayah lewat di depanku, tetapi kelihatannya beliau tidak mengenaliku lagi. Maklum sudah lebih dari 10 tahun kami tidak bertemu. Ke mana berjalannya ayah dan istrinya, aku mencoba mengikutinya. Sampai pada sebuah rumah sederhana, aku melihat ayah memasuki rumah itu.

Tiba-tiba air mataku tak tahan untuk mengalir dari mataku yang sudah lama tak mengenal air mata pilu itu. Aku melihat keadaan ayah dengan keluarganya yang baru, ternyata tidak berbeda dengan ayahku yang dulu, tidak memiliki pekerjaan tetap.

Aku melihat istrinya, sesampai di rumah itu istri ayah yang baru, langsung mengeluarkan sepedah sederhananya dengan dagangan sayur-mayur, sedang ayah seperti biasa yang aku lihat dulu, mengambil sepuntung rokok, menyalakannya sambil duduk santai di teras rumah, dan sesekali aku dengar suara keras ayah membentak-bentak anaknya sepeninggal ibunya yang berangkat mencari nafkah. Persis seperti yang aku alami dulu. Tak jarang aku, kakak, dan adik-adikku memar-memar di tubuh akibat dihajar ayah. Hanya karena masalah sepele, lama mengambil asbak, lama mengambil korek atau kebutuhan ringan ayah yang lain. Kami terlalu payah, seharian sekolah dan membantu ibu mempersiapkan pembuatan kue, saat ibu masih hidup dulu.

Tak sadar sudah 30 menit aku menyaksikan keadaan ayah, pelan-pelan aku meninggalkan kehidupan ayah, dan naik angkot menuju panti asuhanku. Di perjalanan ketika di dalam angkot aku bertemu dengan seorang ibu yang wajahnya mirip sekali dengan ibuku. Dia juga memandangiku, seolah-olah dia tersenyum melihatku, kami saling menatap. Tapi herannya, penumpang-penumpang yang lain seperti tak bereaksi apa-apa. Mereka seperti tak melihat ibu juga. Ibu itu turun bersamaan dengan seorang penumpang yang turun di Jalan Surabaya. Aku pandangi terus ibu itu karena aku sangat rindu dengan ibuku, apalagi setelah aku ziarah ke makam beliau. Namun apa yang kulihat, sesampai di sebuah gang, tak kulihat lagi ibu itu, dia menghilang bagai ditelan alam. Tetapi sebelum dia tak ku lihat lagi , dia sempat melambaikan tangannya ke arahku. Aku berfikir, jangan-jangan….Ah Orang yang sudah meninggal tak mungkin kembali lagi. Itu hanya  mimpiku karena aku rindu dan rindu sekali akan belaiannya. Aku ingin mengadu betapa berat beban di pundakku dan kakakku sepeninggal ibu dan tanpa ayah pula di sisi kami.

Setiba di panti asuhan, aku melihat adik-adikku sedang belajar di teras depan panti. Ku panggil mereka, seraya mereka berlari menghampiri aku. Kupeluk ketiga adikku. Di malam hari kami berlima berkumpul di ruang TV, aku bercerita pada mereka bahwa aku melihat ayah dan keluarganya. Aku ceritakan juga keadaan ayah.Tapi kami enggan untuk mengunjunginya. Kami trauma dengan peristiwa-peristiwa dahulu. Aku dan Adik-adikku serta kakakku kini telah hidup bahagia, walaupun kami hanya nunut tinggal di sebuah panti asuhan. Kami tetap punya cita-cita yang tinggi, namun kami percaya, Tuhan akan mengabulkan setiap permintaan manusia jika mereka mau berdoa dan berusaha.

(Karya: N. S. Amalis Sholihah)
 

0 komentar:

Posting Komentar

Tim Redaksi Buletin Santri Nurul Ulum. Diberdayakan oleh Blogger.